Karya
Ilmiah Tema “Hak Asasi Manusia “
Judul “Kekerasan dalam Rumah Tangga”
Disusun
Oleh
SANDI
UTAMA PUTRA
16753058
Jurusan Ekonomi Dan Bisnis
Program Study MANAJEMEN INFORMATIKA
Politeknik Negeri Lampung
2016/2017
BAB I
PENDAHULUAN
PENDAHULUAN
§ Latar Belakang
Tindak pidana merupakan suatu perbuatan yang dilarang atau
diwajibkan undang-undang yang apabila dilakukan atau diabaikan, maka orang yang
melakukan atau yang mengabaikan itu diancam dengan pidana. Dalam Kitab Undang-undang
Hukum Pidana buku II mulai pasal 104-488 mengatur tentang kejahatan, dan dalam
BAB XX tentang penganiayaan yaitu pasal 351 – 358. Tindakan penganiayaan
terhadap perempuan banyak terjadi dewasa ini terutama kekerasan dalam rumah
tangga atau singkatnya KDRT diatur dalam UU No. 23 tahun 2004.
Keutuhan dan kerukunan
rumah tangga yang bahagia, aman, tentram, dan damai merupakan dambaan setiap
orang dalam rumah tangga. Negara Republik Indonesia adalah negara yang
berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa dijamin oleh Pasal 29 Undang-Undang Dasar
Negara RI Tahun 1945. Dengan demikian, setiap orang dalam lingkup rumah tangga
dalam melaksanakan hak dan kewajibannya harus didasari oleh agama. Hal ini
perlu terus ditumbuhkembangkan dalam rangka membangun keutuhan rumah
tangga.Mewujudkan keutuhan dan kerukunan tersebut, sangat tergantung pada
setiap orang dalam lingkup rumah tangga, terutama kadar kualitas perilaku dan
pengendalian diri setiap orang dalam lingkup rumah tangga tersebut. Keutuhan
dan kerukunan Untuk rumah tangga dapat terganggu jika kualitas dan pengendalian
diri tidak dapat dikontrol, yang pada akhirnya dapat terjadi kekerasan dalam
rumah tangga sehingga timbul ketidakamanan atau ketidakadilan terhadap orang
yang berada dalam lingkup rumah tangga tersebut. Kekerasan dalam rumah tangga
biasa disebut sebagai Hidden Crime yang telah memakan cukup
banyak korban dari berbagai kalangan masyarakat. Hal ini dapat terjadi dalam
berbagai bentuk dan disebabkan oleh berbagai faktor. Sebagai akibatnya tidak
hanya dialami oleh istri saja tetapi anak-anak jaga ikut mengalami penderitaan.
Untuk mencegah, melindungi korban, dan menindak pelaku kekerasan dalam rumah
tangga, negara dan masyarakat wajib melaksanakan pencegahan, perlindungan, dan
penindakan pelaku sesuai dengan falsafah Pancasila dan Undang-Undang Dasar
Negara RI Tahun 1945. Negara berpandangan bahwa segala bentuk kekerasan,
terutama kekerasan dalam rumah tangga, adalah pelanggaran hak asasi manusia dan
kejahatan terhadap martabat kemanusiaan serta bentuk diskriminasi.Perkembangan
dewasa ini menunjukkan bahwa tindak kekerasan secara fisik, psikis, seksual,
dan penelantaran rumah tangga pada kenyataannya terjadi sehingga dibutuhkan
perangkat hukum yang memadai untuk menghapus kekerasan dalam rumah tangga. Pembaruan
hukum sangat diperlukan, khususnya tentang perempuan, sehubungan dengan
banyaknya kasus kekerasan, terutama kekerasan dalam rumah tangga. Pembaruan
hukum tersebut diperlukan karena undang-undang yang ada belum memadai dan tidak
sesuai lagi dengan perkembangan hukum masyarakat. Oleh karena itu, diperlukan
pengaturan tentang tindak pidana kekerasan dalam rumah tangga secara
tersendiri, walaupun secara umum di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
telah diatur mengenai penganiayaan dan kesusilaan serta penelantaran orang yang
perlu diberikan nafkah dan kehidupan.
Undang-Undang tentang
Kekerasan dalam Rumah Tangga ini terkait erat dengan beberapa peraturan
perundang-undangan lain yang sudah berlaku sebelumnya, antara lain:
1. UU 1/1946 tentang Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana serta Perubahannya.
2. UU 8/1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum
Acara Pidana.
3. UU 1/1974 tentang Perkawinan.
4. UU 7/1984 tentang 28 Pengesahan Konvensi
mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Wanita (Convention
on the Elimination of All Forms of Discrimination Against Women).
5. UU 39/1999 tentang Hak Asasi Manusia.
Undang-Undang ini, selain mengatur ihwal pencegahan dan
perlindungan serta pemulihan terhadap korban kekerasan dalam rumah tangga, juga
mengatur secara spesifik kekerasan yang terjadi dalam rumah tangga dengan
unsur-unsur tindak pidana yang berbeda dengan tindak pidana penganiayaan yang
diatur dalam KUHP. Selain itu, Undang-Undang ini juga mengatur ihwal kewajiban
bagi aparat penegak hukum, tenaga kesehatan, pekerja sosial, relawan
pendamping, atau pembimbing rohani untuk melindungi korban agar mereka lebih
sensitif dan responsif terhadap kepen-tingan rumah tangga yang sejak awal
diarahkan pada keutuhan dan kerukunan rumah tangga. Berdasarkan pemikiran tersebut,
sudah saatnya dibentuk Undang-Undang tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah
Tangga yang diatur secara komprehensif, jelas, dan tegas untuk melindungi dan
berpihak kepada korban, serta sekaligus memberikan pendidikan dan penyadaran
kepada masyarakat dan aparat bahwa segala tindak kekerasan dalam rumah tangga
merupakan kejahatan terhadap martabat kemanusiaan.
§ Rumusan Masalah
Kekerasan dalam rumah tangga sering terjadi dalam masyarakat,
dan banyak sekali masalah yang ditimbulkan akibat dari kekerasan dalam rumah
tangga. Permasalahan yang saya angkat dalam makalah ini yaitu :
1. Apa pengertian KDRT ?
2. Apa saja gejala KDRT ?
3. Apa saja bentuk-bentuk kekerasan dalam rumah
tangga ?
4. Faktor apa yang menyebabkan seorang suami tega
melekukan tindak kekerasan dalam rumah tangga ?
5. Apa saja dampak bila melakukan kekerasan dalam
rumah tangga ?
6. Apakah Undang-undang No. 23 tahun 2004 tentang
KDRT sudah bisa melindungi korban akibat kekerasan dalam rumah tangga ?
7. Apakah Undang-undang KDRT No. 23 tahun 2004
sudah bisa dijadikan bahan acuan dalam memutuskan perkara di pengadilan dalam
tindakan KDRT atau mengacu pada KUHP Bab XX tentang penganiayaan pasal 351-358
?
8. Solusi apa saja untuk mengatasi kekerasan
dalam rumah tangga ?
§ Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui pengertian kekerasan dalam
rumah tangga ?
2. Untuk mengetahui gejala-gejalan kekerasan
dalam rumah tangga ?
3. Untuk mengetahui bentuk-bentuk kekerasan dalam
rumah tangga ?
4. Untuk mengetahui faktor apa yang menyebabkan
seorang suami tega melakukan tindak kekerasan dalam rumah tangga ?
5. Untuk mengetahui dampak bila melakukan
kekerasan dalam rumah tangga?
6. Untuk mengetahui apakah Undang-undang No. 23
tahun 2004 tentang KDRT sudah bisa melindungi korban akibat kekerasan dalam
rumah tangga ?
7. Untuk mengetahui apakah Undang-undang KDRT No.
23 tahun 2004 sudah bisa dijadikan bahan acuan dalam memutuskan perkara di
pengadilan dalam tindakan KDRT atau mengacu pada KUHP Bab XX tentang penganiayaan
pasal 351-358 ?
8. Untuk mengetahui solusi apa saja untuk
mengatasi kekerasan dalam rumah tangga ?
BAB II
PEMBAHASAN
§ Pengertian Kekerasan
Kekerasan (Terhadap Perempuan) dalam Rumah Tangga
Secara ringkas, adalah setiap tindakan kekerasan verbal maupun fisik, pemaksaan atau ancaman pada nyawa yang dirasakan pada seorang perempuan, apakah masih anak-anak atau sudah dewasa, yang menyebabkan kerugian fisik atau psikologis, penghinaan atau perampasan kebebasan dan yang melanggengkan subordinasi perempuan. Adapun pengertian kekerasan dalam rumah tangga, sebagaimana tertuang dalam rumusan pasal 1 Deklarasi Penghapusan Tindakan Kekerasan terhadap Perempuan dapat disarikan sebagai setiap tindakan berdasarkan jenis kelamin yang berakibat kesengsaraan atau penderitaan perempuan secara fisik, seksual, atau psikologis, termasuk ancaman tindakan tertentu, pemaksaan atau perampasan secara sewenang-wenang baik yang terjadi di depan umum atau dalam kehidupan pribadi (keluarga).
Secara ringkas, adalah setiap tindakan kekerasan verbal maupun fisik, pemaksaan atau ancaman pada nyawa yang dirasakan pada seorang perempuan, apakah masih anak-anak atau sudah dewasa, yang menyebabkan kerugian fisik atau psikologis, penghinaan atau perampasan kebebasan dan yang melanggengkan subordinasi perempuan. Adapun pengertian kekerasan dalam rumah tangga, sebagaimana tertuang dalam rumusan pasal 1 Deklarasi Penghapusan Tindakan Kekerasan terhadap Perempuan dapat disarikan sebagai setiap tindakan berdasarkan jenis kelamin yang berakibat kesengsaraan atau penderitaan perempuan secara fisik, seksual, atau psikologis, termasuk ancaman tindakan tertentu, pemaksaan atau perampasan secara sewenang-wenang baik yang terjadi di depan umum atau dalam kehidupan pribadi (keluarga).
Lebih tegas lagi dapat
dikatakan bahwa kekerasan terhadap perempuan dalam rumah tangga terutama
digunakan untuk mengontrol seksualitas perempuan dan peran reproduksi mereka.
Hal ini sebagaimana biasa terjadi dalam hubungan seksual antara suami dan istri
di mana suami adalah pihak yang membutuhkan dan harus dipenuhi kebutuhannya,
dan hal ini tidak terjadi sebaliknya.
Lebih jauh lagi Maggi
Humm menjelaskan bahwa beberapa hal di bawah ini dapat dikategorikan sebagai
unsur atau indikasi kekerasan terhadap perempuan dalam rumah tangga yaitu:
1. Setiap tindakan kekerasan baik secara verbal
maupun fisik, baik berupa tindakan atau perbuatan, atau ancaman pada nyawa.
2. Tindakan tersebut diarahkan kepada korban
karena ia perempuan. Di sini terlihat pengabaian dan sikap merendahkan
perempuan sehingga pelaku menganggap wajar melakukan tindakan kekerasan
terhadap perempuan.
3. Tindakan kekerasan itu dapat berbentuk hinaan,
perampasan kebebasan, dll.
4. Tindakan kekerasan tersebut dapat merugikan
fisik maupun psikologis perempuan.
5. Tindakan kekerasan tersebut terjadi dalam
lingkungan keluarga atau rumah tangga.
Dalam konteks
Indonesia, kondisi dari budaya yang timpang telah menyebabkan hukum, dan sistem
hukum (materiil hukum, aparat hukum, budaya hukum) yang ada kurang responsif
dalam melindungi kepentingan perempuan. KUHAP sangat minim membicarakan hak dan
kewajiban istri sebagai korban, ia hanya diposisikan sebagai saksi pelapor atau
saksi korban. Begitu pula yang tercantum dalam UU. No. 1 Tahun 1974 Tentang
Perkawinan pasal 31 ayat (3): “Suami adalah kepala rumah tangga dan istri
adalah ibu rumah tangga. Meski demikian, KUHP juga memuat peluang istri untuk
mendapat keadilan. Kekerasan dan penganiayaan terhadap istri dalam KUHP
merupakan tindak pidana yang sanksinya lebih besar sepertiga dari tindak pidana
penganiayaan biasa atau dilakukan oleh dan terhadap orang lain, sebagaimana
diterangkan dalam pasal 351 s.d. 355 KUHP.
Pernyataan dalam KUHP tersebut dipertegas lagi dengan keluarnya UU. No. 23 Tahun 2004 Tentang Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) pada tanggal 22 September 2004 yang merupakan hasil kerja cukup panjang dari berbagai elemen bangsa, baik dari pemerintah, parlemen, dan tentu saja masyarakat luas yang dalam hal ini diwakili oleh lembaga-lembaga yang mempunyai perhatian serius terhadap penyelesaian kekerasan dalam rumah tangga dan pembangunan hukum yang adil bagi seluruh lapisan masyarakat.
Pernyataan dalam KUHP tersebut dipertegas lagi dengan keluarnya UU. No. 23 Tahun 2004 Tentang Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) pada tanggal 22 September 2004 yang merupakan hasil kerja cukup panjang dari berbagai elemen bangsa, baik dari pemerintah, parlemen, dan tentu saja masyarakat luas yang dalam hal ini diwakili oleh lembaga-lembaga yang mempunyai perhatian serius terhadap penyelesaian kekerasan dalam rumah tangga dan pembangunan hukum yang adil bagi seluruh lapisan masyarakat.
Adapun definisi
kekerasan dalam rumah tangga menurut UU No. 23 Tahun 2004 yaitu: “Kekerasan
dalam rumah tangga adalah setiap perbuatan terhadap seseorang terutama
perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik,
seksual, psikologis, dan penelantaran rumah tangga, termasuk ancaman untuk
melakukan perbuatan, pemaksaan atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum
dalam lingkup rumah tangga.
§ Gejala-Gejala Kekerasan Dalam Rumah Tangga
Gejala-gejala istri yang mengalami kekerasan adalah merasa
rendah diri, cemas, penuh rasa takut, sedih, putus asa, terlihat lebih tua dari
usianya, sering merasa sakit kepala, mengalami kesulitan tidur, mengeluh nyeri
yang tidak jelas penyebabnya, kesemutan, nyeri perut, dan bersikap agresif
tanpa penyebab yang jelas. Jika anda membaca gejala-gejala di atas, tentu anda
akan menyadari bahwa akibat kekerasan yang paling fatal adalah merusak kondisi
psikologis yang waktu penyembuhannya tidak pernah dapat dipastikan.
§ Bentuk-Bentuk Kekerasan Dalam Rumah Tangga
Ratna Batara Munti
menjelaskan bahwa kekerasan terhadap perempuan dalam rumah tangga dapat terjadi
dalam berbagai bentuk sebagaimana diringkaskan di bawah ini yaitu :
1. Kekerasan fisik, langsung dalam bentuk
pemukulan, pencakaran sampai pengrusakan vagina (kekerasan seksual) dan
kekerasan fisik secara tidak langsung yang biasanya berupa memukul meja,
membanting pintu, memecahkan piring, gelas, tempat bunga dan lain-lain, serta
berlaku kasar.
2. Kekerasan psikologis, Kekerasan psikis adalah
perbuatan yang mengakibatkan ketakutan, hilangnya rasa percaya diri, hilangnya
kemampuan untuk bertindak, rasa tidak berdaya, dan/atau penderitaan psikis
berat pada seseorang.
3. Kekerasan Seksual, Kekerasan seksual adalah
setiap perbuatan yang berupa pemaksaan hubungan seksual, pemaksaan hubungan
seksual dengan cara tidak wajar dan/atau tidak disukai, pemaksaan hubungan
seksual dengan orang lain untuk tujuan komersial dan/atau tujuan tertentu.
tidak memenuhi kebutuhan seksual istri.
tidak memenuhi kebutuhan seksual istri.
4. Kekerasan ekonomi, berupa tidak diberikannya
nafkah selama perkawinan atau membatasi nafkah secara sewenang-wenang,
membiarkan atau bahkan memaksa istri bekerja keras, juga tidak memberi nafkah
setelah terjadi perceraian meskipun pengadilan memutuskan.
5. Penelantaran rumah tangga adalah seseorang
yang menelantarkan orang dalam lingkup rumah tangganya, padahal menurut hukum
yang berlaku baginya atau karena persetujuan atau perjanjian ia wajib
memberikan kehidupan, perawatan, atau pemeliharaan kepada orang tersebut.
Selain itu, penelantaran juga berlaku bagi setiap orang yang mengakibatkan
ketergantungan ekonomi dengan cara membatasi dan/atau melarang untuk bekerja
yang layak di dalam atau di luar rumah sehingga korban berada di bawah kendali
orang tersebut
Gabungan dari berbagai kekerasan sebagaimana disebutkan di atas
baik fisik, psikologis, maupun ekonomis. Dari keterangan tentang berbagai macam
bentuk kekerasan dalam rumah tangga tersebut dapat diketahui bahwa kekerasan
tersebut adalah suatu tindakan yang out of control yang dapat
menjadi kebiasaan jahat yang dapat merugikan pasangan.
§ Faktor Penyebab Terjadinya Kekerasan Dalam
Rumah Tangga
Adapun faktor-faktor
terjadinya kekerasan terhadap perempuan dalam rumah tangga khususnya yang
dilakukan oleh suami terhadap istri telah diungkap dalam suatu penelitian yang
dilakukan oleh Diana Ribka, juga oleh Istiadah yang dapat diringkaskan sebagai
berikut:
1. Adanya hubungan kekuasaan yang tidak seimbang
antara suami dan istri.
Anggapan bahwa suami
lebih berkuasa dari pada istri telah terkonstruk sedemikian rupa dalam keluarga
dan kultur serta struktur masyarakat. Bahwa istri adalah milik suami oleh
karena harus melaksanakan segala yang diinginkan oleh yang memiliki. Hal ini
menyebabkan suami menjadi merasa berkuasa dan akhirnya bersikap sewenang-wenang
terhadap istrinya.
2. Ketergantungan ekonomi.
Faktor ketergantungan
istri dalam hal ekonomi kepada suami memaksa istri untuk menuruti semua keinginan
suami meskipun ia merasa menderita. Bahkan, sekalipun tindakan keras dilakukan
kepadnya ia tetap enggan untuk melaporkan penderitaannya dengan pertimbangan
demi kelangsungan hidup dirinya dan pendidikan anak-anaknya. Hal ini
dimanfaatkan oleh suami untuk bertindak sewenang-wenang kepada istrinya.
3. Kekerasan sebagai alat untuk menyelesaiakan
konflik.
Faktor ini merupakan
faktor dominan ketiga dari kasus kekerasan dalam rumah tangga. Biasanya
kekerasan ini dilakukan sebagai pelampiasan dari ketersinggungan, ataupun
kekecewaan karena tidak dipenuhinya keinginan, kemudian dilakukan tindakan
kekerasan dengan tujuan istri dapat memenuhi keinginannya dan tidak melakukan
perlawanan. Hal ini didasari oleh anggapan bahwa jika perempuan rewel maka
harus diperlakukan secara keras agar ia menjadi penurut. Anggapan di atas
membuktikan bahwa suami sering menggunakan kelebihan fisiknya dalam
menyelesaikan problem rumah tangganya.
Jika di muka telah
diterangkan mengenai faktor pertama kekerasan dalam rumah tangga adalah ketimpangan
hubungan kekuasaan antara suami dan istri. Maka di sisi lain, perimbangan
antara suami dan istri, baik dalam hal pendidikan, pergaulan, penguasaan
ekonomi baik yang mereka alami sejak masih kuliah, di lingkungan kerja, dan
lingkungan masyarakat di mana mereka tinggal, dapat menimbulkan persaingan dan
selanjutnya dapat menimbulkan terjadinya kekerasan dalam rumah tangga. Bahwa di
satu sisi suami tidak mau kalah, sementara di sisi lain istri juga tidak mau
terbelakang dan dikekang.
Terkadang pula suami
melakukan kekerasan terhadap istrinya karena merasa frustai tidak bisa
melakukan sesuatu yang semestinya menjadi tanggung jawabnya. Hal ini biasa
terjadi pada pasangan yang :
1. Belum siap kawin.
2. Suami belum memiliki pekerjaan dan penghasilan
tetap yang mencukupi kebutuhan rumah tangga.
3. Masih serba terbatas dalam kebebasan karena
masih menumpang pada orang tua atau mertua.
Dalam kasus ini
biasanya suami mencari pelarian kepada mabuk-mabukan dan perbuatan negatif lain
yang berujung pada pelampiasan terhadap istrinya dengan memarahinya,
memukulnya, membentaknya dan tindakan lain yang semacamnya.
Kesempatan yang kurang bagi perempuan dalam
proses hukum
Pembicaraan tentang proses hukum dalam kasus kekerasan dalam rumah tangga tidak terlepas dari pembicaraan hak dan kewajiban suami istri. Hal ini penting karena bisa jadi laporan korban kepada aparat hukum dianggap bukan sebagai tindakan kriminal tapi hanya kesalahpahaman dalam keluarga. Hal ini juga terlihat dari minimnya KUHAP membicarakan mengenai hak dan kewajiban istri sebagai korban, karena posisi dia hanya sebagai saksi pelapor atau saksi korban. Dalam proses sidang pengadilan, sangat minim kesempatan istri untuk mengungkapkan kekerasan yang ia alami.
Pembicaraan tentang proses hukum dalam kasus kekerasan dalam rumah tangga tidak terlepas dari pembicaraan hak dan kewajiban suami istri. Hal ini penting karena bisa jadi laporan korban kepada aparat hukum dianggap bukan sebagai tindakan kriminal tapi hanya kesalahpahaman dalam keluarga. Hal ini juga terlihat dari minimnya KUHAP membicarakan mengenai hak dan kewajiban istri sebagai korban, karena posisi dia hanya sebagai saksi pelapor atau saksi korban. Dalam proses sidang pengadilan, sangat minim kesempatan istri untuk mengungkapkan kekerasan yang ia alami.
§ Dampak Kekerasan Dalam Rumah Tangga
Karena kekerasan sebagaimana tersebut di atas terjadi dalam
rumah tangga, maka penderitaan akibat kekerasan ini tidak hanya dialami oleh
istri saja tetapi juga anak-anaknya. Adapun dampak kekerasan dalam rumah tangga
yang menimpa istri adalah:
1. Kekerasan fisik langsung atau tidak langsung
dapat mengakibatkan istri menderita rasa sakit fisik dikarenakan luka sebagai
akibat tindakan kekerasan tersebut.
2. Kekerasan seksual dapat mengakibatkan turun
atau bahkan hilangnya gairah seks, karena istri menjadi ketakutan dan tidak
bisa merespon secara normal ajakan berhubungan seks.
3. Kekerasan psikologis dapat berdampak istri
merasa tertekan, shock, trauma, rasa takut, marah, emosi tinggi dan
meledak-ledak, kuper, serta depresi yang mendalam.
4. Kekerasan ekonomi mengakibatkan terbatasinya
pemenuhan kebutuhan sehari-hari yang diperlukan istri dan anak-anaknya.
Sebagaimana telah
disebutkan di atas, bahwa kekerasan tersebut juga dapat berdampak pada
anak-anak. Adapun dampak-dampak itu dapat berupa efek yang secara langsung
dirasakan oleh anak, sehubungan dengan kekerasan yang ia lihat terjadi pada
ibunya, maupun secara tidak langsung. Bahkan, sebagian dari anak yang hidup di
tengah keluarga seperti ini juga diperlakukan secara keras dan kasar karena
kehadiran anak terkadang bukan meredam sikap suami tetapi malah sebaliknya.
Menurut hasil penelitian tim Kalyanamitra, menyaksikan kekerasan adalah
pengalaman yang amat traumatis bagi anak-anak. Kekerasan dalam rumah tangga
yang dialami anak-anak membuat anak tersebut memiliki kecenderungan seperti
gugup, gampang cemas ketika menghadapi masalah, sering ngompol, gelisah dan
tidak tenang, jelek prestasinya di sekolah, mudah terserang penyait seperti
sakit kepala, perut, dan asma, kejam kepada binatang, Ketika bermaian sering
meniru bahasa yang kasar, berperilaku agresif dan kejam, suka minggat, dan suka
melakukan pemukulan terhadap orang lain yang tidak ia sukai.
Kekerasan dalam rumah
tangga yang ia lihat adalah sebagai pelajaran dan proses sosialisasi bagi dia
sehingga tumbuh pemahaman dalam dirinya bahwa kekerasan dan penganiayaan adalah
hal yang wajar dalam sebuah kehidupan berkeluarga. Pemahan seperti ini
mengakibatkan anak berpendirian bahwa:
1. Satu-satunya jalan menghadapi stres dari
berbagai masalah adalah dengan melakukan kekerasan.
2. Tidak perlu menghormati perempuan.
3. Menggunakan kekerasan dalam menyelesaiakan
berbagai persoalan adalah baik dan wajar.
4. Menggunakan paksaan fisik untuk mendapatkan sesuatu
yang diinginkan adalah wajar dan baik-baik saja
Di samping dampak
secara langsung terhadap fisik dan psikologis sebagaimana disebutkan di atas,
masih ada lagi akibat lain berupa hubungan negatif dengan lingkungan yang harus
ditanggung anak seperti:
1. Harus pindah rumah dan sekolah jika ibunya
harus pindah rumah karena menghindari kekerasan.
2. Tidak bisa berteman atau mempertahankan teman
karena sikap ayah yang membuat anak terkucil.
3. Merasa disia-siakan oleh orang tua.
Kebanyakan anak yang
tumbuh dalam rumah tangga yang penuh kekerasan akan tumbuh menjadi anak yang
kejam. Penelitian membuktikan bahwa 50% – 80% laki-laki yang memukuli istrinya
atau anak-anaknya, dulunya dibesarkan dalam rumah tangga yang bapaknya sering
melakukan kekerasan terhadap istri dan anaknya. Mereka tumbuh dewasa dengan
mental yang rusak dan hilangnya rasa iba serta anggapan bahwa melakukan
kekerasan terhadap istri adalah bisa diterima.
§ Peraturan Perundang-Undangan Tentang Kekerasan
(Fisik) Terhadap Istri Dalam Rumah Tangga
1. Menurut Hukum Pidana
Pada dasarnya, proses
penetapan bahwa perbuatan seseorang dapat dipidanakan adalah karena perbuatan
itu tidak dikehendaki atau tidak disukai oleh masyarakat. Salah satu ukurannya
adalah bahwa perbuatan tersebut dapat merugikan atau mendatangkan korban.
Oleh karena itu, dalam
hukum pidana dikenal sebuah asas yang fundamental berkaitan dengan pemidanaan
yaitu “tiada pidana tanpa kesalahan” atau dengan kata lain, terjadinya
kesalahan mensahkan diterapkannya pidana.
Dalam kaitannya dengan
kekerasan fisik terhadap istri dalam rumah tangga adalah bahwa kekerasan fisik
yang dilakukan oleh suami termasuk dalam perbuatan yang tidak dikehendaki dan
tidak disukai oleh masyarakat, terlebih lagi perbuatan itu dapat merugikan
istri dan anaknya yang menjadi korban tindakannya. Permasalahannya adalah bahwa
sebagaimana diketahui, kekerasan fisik terjadi lebih karena faktor emosi yang
sudah tidak terkendali setelah didahului oleh terjadinya pertengkaran antara
suami dan istri, sehingga agak diragukan apakah suami sengaja melakukan
kekerasan fisik tersebut atau tidak sengaja (alpa).Dari penelusuran berbagai
pasal dalam KUHP, diperoleh data bahwa ancaman pidana dapat dikenakan kepada
pelaku, baik tindak pidana tersebut dilakukan dengan sengaja ataupun karena
kealpaan. Perbedaan ancaman pidana antara kesengajaan dan kealpaan hanya
terdapat pada berat ringannya pidana yang diancamkan. Untuk lebih jelasnya,
penulis kutibkan pasal dalam KUHP yang memuat tindak pidana yang dilakukan
dengan sengaja atau alpa dengan berat atau ringannya ancaman pidananya.
Sebagaimana tersebut
dalam pasal 354 KUHP tentang penganiayaan, disebutkan: “Barang siapa sengaja
melukai berat orang lain diancam, karena melakukan penganiayaan berat, dengan
pidana penjara paling lama delapan tahun”. Sedangkan dalam pasal 360 KUHP
disebutkan: “Barang siapa karena kealpaannya menyebabkan orang lain mendapat
luka-luka berat, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau
kurungan paling lama satu tahun.
Kealpaan baru mungkin
tidak dapat dipidanakan hanya jika terjadi dalam perbuatan peserta yang
melakukan bantuan/ikut serta berbuat karena kealpaannya dalam perbuatan
penyertaan (culpose deelneming) sebagaimana keterangan dalam pasal 56 KUHP yang
berbunyi: “Dipidana sebagai pembantu sesuatu kejahatan: mereka yang sengaja
memberikan bantuan pada waktu kejahatan dilakukan, dan mereka yang sengaja
memberi kesempatan, sarana atau keterangan untuk melakukan kejahatan.
Dengan demikian
kekerasan fisik terhadap istri yang dilakukan oleh suami meskipun dilakukan
dengan kealpaan tetap dapat dipidanakan. Ditambah lagi, kekerasan fisik
terhadap istri ini bukanlah delik penyertaan di mana suami berperan sebagai
pembantu atau penyerta perbuatan yang dilakukan dengan kealpaan.
Selanjutnya, pasal 351 s.d. 355 KUHP menerangkan bahwa
penganiayaan diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan
atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah. Jika perbuatan
mengakibatkan luka berat, yang berbuat dapat diancam dengan pidana penjara paling
lama tujuh tahun. Dan pada pasal 356 menyebutkan bahwa pidana yang ditentukan
dalam pasal 351, 353, 354, dan 355 dapat ditambah dengan sepertiga bagi yang
melakukan kejahatan itu terhadap ibunya, bapaknya yang sah, istri,
dan anaknya.16
Walaupun demikian banyak masyarakat menganggap bahwa persoalan rumah tangga adalah aib untuk diceritakan kepada orang lain. Hal ini mengakibatkan pasal-pasal yang menjerat tindak kekerasan dalam rumah tangga itu sulit untuk diterapkan.
Walaupun demikian banyak masyarakat menganggap bahwa persoalan rumah tangga adalah aib untuk diceritakan kepada orang lain. Hal ini mengakibatkan pasal-pasal yang menjerat tindak kekerasan dalam rumah tangga itu sulit untuk diterapkan.
Jika disimak lebih
lanjut mengenai pasal-pasal di atas terlihat bahwa negara hanya mengatur tindak
penganiayaan sebagai kejahatan yang sifatnya umum. Negara belum mengakomodir
kekerasan yang dialami istri dalam keluarga. Dengan demikian dapat dikatakan
bahwa KUHP tidak mengenal konsep kekerasan yang berbasis jender di mana
sesungguhnya ada tindakan kejahatan yang dilakukan justru karena jenis kelamin.
2. Menurut UU No. 23 Tahun 2004
UU No. 23 Tahun 2004
ini terdiri dari sepuluh bab dan lima puluh enam pasal. Secara garis besar
dapat penulis uraikan sebagai berikut:
1. Bab I berisi ketentuan umum yang menerangkan
tentang definisi kekerasan dalam rumah tangga dan penghapusan kekerasan dalam
rumah tangga sebagaimana tercantum dalam pasal 1, serta menerangkan tentang
lingkup rumah tangga yang meliputi suami, istri, dan anak (pasal 2).
2. Bab II berisi asas dan tujuan. Bahwa asas yang
mendasari dilaksanakannya penghapusan kekerasan dalam rumah tangga adalah
sebagaimana tersebut dalam pasal 3 yaitu meliputi:
1. Penghormatan hak asasi manusia
2. Keadilan dan kesetaraan jender
3. Anti diskriminasi, dan
4. Perlindungan korban
Adapun tujuannya
adalah sebagaimana terdapat dalam pasal 4 yaitu:
1. Mencegah segala bentuk kekerasan dalam rumah
tangga
2. Melindungi korban kekerasan dalam rumah tangga
3. Menindak pelaku kekerasan dalam rumah tangga
4. Memelihara keutuhan rumah tangga yang harmonis
dan sejahtera
5. Bab III berisi larangan kekerasan dalam rumah
tangga, bahwa setiap orang dilarang melakukan kekerasan dalam rumah tangga
terhadap orang lain dalam lingkup rumah tangganya, baik dengan cara kekerasan
fisik, psikis, seksual, dan menerlantarkan rumah tangganya, sebagaimana
tercantum dalam pasal 5.
6. Bab IV berisi hak-hak korban sebagaimana
tercantum dalam pasal 10 yang meliputi:
§ Perlindungan dari pihak keluarga, kepolisian,
kejaksaan, pengadilan, advokat, lembaga sosial, atau pihak lainnya baik
sementara maupun berdasarkan penetapan perintah perlindungan dari pengadilan.
§ Pelayanan kesehatan sesuai dengan kebutuhan
medis.
§ Penanganan secara khusus berkaitan dengan
kerahasiaan korban.
§ Pendampingan oleh pekerja sosial dan bantuan
hukum pada setiap tingkat proses pemeriksaan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan, dan. Pelayanan bimbingan rohani.
7. Bab V berisi kewajiban pemerintah dan
masyarakat dalam penghapusan kekerasan dalam rumah tangga, (pasal 11). Untuk
melaksanakan ketentuan tersebut, maka ada beberapa hal yang harus dilakukan
oleh pemerintah sebagaimana tercantum dalam pasal 12 yang meliputi:
A. Merumuskan kebijakan tentang penghapusan
kekerasan dalam rumah tangga.
B. Menyelenggarakan komunikasi, informasi, dan
edukasi tentang kekerasan dalam rumah tangga
§ Menyelenggarakan sosialisasi dan advokasi
tentang kekerasan dalam rumah tangga
1. Menyelenggarakan pendidikan dan pelatihan
sensitif jender dan isu kekerasan dalam rumah tangga serta menetapkan standar
dan akreditasi pelayanan yang sensitif jender.
Adapun yang dimaksud
dengan kewajiban masyarakat adalah sebagaimana tercantum dalam pasal 15, yaitu
bahwa setiap orang yang mendengar, melihat, atau mengetahui terjadinya
kekerasan dalam rumah tangga, wajib melakukan upaya-upaya sesuai dengan batas
kemampuannya untuk:
1. Mencegah berlangsungnya tindak pidana
2. Memberikan perlindungan kepada korban
3. Memberikan pertolongan darurat, dan
4. Membantu proses pengajuan permohonan penetapan
perlindungan kepada lembaga terkait
25. Bab VI berisi perlindungan yang harus
diberikan oleh kepolisian sebagaimana tercantum dalam pasal 16 sampai 20,
perlindungan dan pelayanan kesehatan yang terdapat dalam pasal 21, dan
perlindungan dari pekerja sosial dan relawan pendamping sebagaimana tercantum
dalam pasal 22 dan 23, perlindungan oleh rohaniwan sebagaimana terdapat dalam
pasal 24, dan perlindungan oleh advokat sebagaimana terdapat dalam pasal 25.
26. Bab VII berisi upaya pemulihan korban, bahwa
untuk kepentingan pemulihan, korban dapat memperoleh pelayanan dari:
A. Tenaga kesehatan yang wajib memeriksa korban
sesuai dengan standar profesinya (pasal 40)
B. Pekerja sosial dan relawan pendamping, dan
rohaniwan yang wajib memberikan konseling untuk menguatkan dan memberikan rasa
aman bagi korban (pasal 41)
27. Bab VIII berisi ketentuan pidana yang
tercantum dalam pasal 44 sampai 53. Khusus untuk kekerasan fisik, penulis
uraikan rinciannya sebagai berikut:
O. Kekerasan fisik dalam lingkup rumah tangga
dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 tahun atau denda paling banyak Rp.
15.000.000,-
P. Jika kekerasan fisik tersebut mengakibatkan
sakit dan luka berat, maka pelakunya dipidana dengan pidana penjara paling lama
10 tahun atau denda paling banyak Rp. 30.000.000,-
§ Jika kekerasan tersebut mengakibatkan matinya
korban, maka pelaku dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 tahun atau
denda paling banyak Rp. 45.000.000,-
5. Jika kekerasan tersebut tidak mengakibatkan
penyakit atau halangan apa pun untuk menjalankan pekerjaan dan kegiatan lainnya,
maka pelaku dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 bulan atau denda
paling banyak Rp. 5.000.000,-
1. Bab IX berisi Ketentuan lain-lain yang
menerangkan tentang penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang
pengadilan, dan pembuktian (pasal 54 dan 55). UU di tutup dengan bab X tentang
ketentuan penutup (pasal 56).
§ Solusi Untuk Mengatasi Kekerasan Dalam Rumah
Tangga
Untuk menurunkan kasus-kasus kekerasan dalam rumah tangga maka
masyarakat perlu digalakkan pendidikan mengenai HAM dan pemberdayaan perempuan,
menyebarkan informasi dan mempromosikan prinsip hidup sehat, anti kekerasan
terhadap perempuan dan anak serta menolak kekerasan sebagai cara untuk
memecahkan masalah, mengadakan penyuluhan untuk mencegah kekerasan,
mempromosikan kesetaraan jender, mempromosikan sikap tidak menyalahkan korban
melalui media.
Sedangkan untuk pelaku
dan korban kekerasan sendiri, sebaiknya mencari bantuan pada Psikolog untuk
memulihkan kondisi psikologisnya. Bagi suami sebagai pelaku, bantuan oleh
Psikolog diperlukan agar akar permasalahan yang menyebabkannya melakukan
kekerasan dapat terkuak dan belajar untuk berempati dengan menjalani terapi
kognitif. Karena tanpa adanya perubahan dalam pola pikir suami dalam menerima
dirinya sendiri dan istrinya maka kekerasan akan kembali terjadi. Sedangkan
bagi istri yang mengalami kekerasan perlu menjalani terapi kognitif dan belajar
untuk berperilaku asertif. Selain itu, istri juga dapat meminta bantuan pada
LSM yang menangani kasus-kasus kekerasan pada perempuan agar mendapat
perlidungan. Suami dan istri juga perlu untuk terlibat dalam terapi kelompok
dimana masingmasing dapat melakukan sharing sehingga menumbuhkan keyakinan
bahwa hubungan perkawinan yang sehat bukan dilandasi oleh kekerasan namun
dilandasi oleh rasa saling empati. Selain itu, suami dan istri perlu belajar
bagaimana bersikap asertif dan memanage emosi sehingga jika ada perbedaan
pendapat tidak perlu menggunakan kekerasan karena berpotensi anak akan
mengimitasi perilaku kekerasan tersebut. Oleh karena itu, anak perlu diajarkan
bagaimana bersikap empati dan memanage emosi sedini mungkin namun semua itu
harus diawali dari orangtua. Mengalami KDRT membawa akibat – akibat negatif
yang berkemungkinan mempengaruhi perkembangan korban di masa mendatang dengan
banyak cara. Dengan demikian, perhatian utama harus diarahkan pada pengembangan
berbagai strategi untuk mencegah terjadi penganiayaan dan meminimalkan efeknya
yang merugikan ada beberapa solusi untuk mencegah KDRT antara lain :
1. Membangun kesadaran bahwa persoalan KDRT
adalah persoalan sosial bukan individual dan merupakan pelanggaran hukum yang
terkait dengan HAM.
2. Sosialiasasi pada masyarakat tentang KDRT
adalah tindakan yang tidak dapat dibenarkan dan dapat diberikan sangsi hukum.
Dengan cara mengubah pondasi KDRT di tingkat masyarakat pertama – tama dan
terutama membutuhkan.
3. Adanya konsensus bahwa kekerasan adalah
tindakan yang tidak dapat diterima.
4. Mengkampanyekan penentangan terhadap
penayangan kekerasan di media yang mengesankan kekerasan sebagai perbuatan biasa,
menghibur dan patut menerima penghargaan.
5. Peranan Media massa. Media cetak, televisi,
bioskop, radio dan internet adalah macrosystem yang sangat berpengaruh untuk
dapat mencegah dan mengurangi kekerasan dalam rumah tangga ( KDRT). Peran media
massa sangat berpengaruh besar dalam mencegah KDRT bagaimana media massa dapat
memberikan suatu berita yang bisa merubah suatu pola budaya KDRT adalah suatu
tindakan yang dapat melanggar hukum dan dapat dikenakan hukuman penjara sekecil
apapun bentuk dari penganiayaan.
6. Mendampingi korban dalam menyelesaikan
persoalan (konseling) serta kemungkinan menempatkan dalam shelter (tempat
penampungan) sehingga para korban akan lebih terpantau dan terlindungi serta
konselor dapat dengan cepat membantu pemulihan secara psikis.
BAB III
PENUTUP
§ Kesimpulan
KDRT (Kekerasan Dalam Rumah Tangga) merupakan permasalahan yang
sering terjadi didalam rumah tangga. Oleh karena itu harus dilakukan pencegahan
secara dini. Pendidikan agama dan pengamalan ajaran agama di rumah tangga
merupakan kunci sukses untuk mencegah terjadinya KDRT.
Untuk mencegah KDRT di
rumah tangga, harus dikembangkan cinta kasih dan kasih sayang Sejak dini. Ibu
bisa berperan besar dalam hal mengajarkan kepada anak-anak dirumah untuk
saling mencintai dan saling menyayangi. Demikian juga PKK sebagai organisasi
dapat memberi terus-menerus pencerahan dan penyadaran kepada kaum perempuan.
Oleh karena pelaku
utama KDRT pada umumnya adalah suami, maka peranan para pemuka agama, pendidik,
sosiolog dan cendekiawan, harus berada digarda terdepan untuk terus
menyuarakan pentingnya rumah tangga sebagai unit terkecil dalam masyarakat
untuk dibangun secara baik dan jauh dari KDRT. Supaya
terkomunikasikan hal tersebut kepada masyarakat luas, maka peranan dan
partisipasi media sangat penting dan menentukan.
Amalkan sebuah pepatah
“Rumahku Istanaku”. Betapapun keadaannya sebuah rumah, maka rumah harus
menjadi tempat yang memberi kehangatan, ketenangan, kedamaian,
perlindungan, dan kebahagian kepada seluruh anggota keluarga.
§ Saran
Untuk menurunkan kasus-kasus kekerasan dalam rumah tangga maka
masyarakat perlu digalakkan pendidikan mengenai HAM dan pemberdayaan perempuan,
menyebarkan informasi dan mempromosikan prinsip hidup sehat, anti kekerasan
terhadap perempuan dan anak serta menolak kekerasan sebagai cara untuk
memecahkan masalah, mengadakan penyuluhan untuk mencegah kekerasan, mempromosikan
kesetaraan jender, mempromosikan sikap tidak menyalahkan korban melalui media.
DAFTAR PUSTAKA
Abrar Ana Nadhya, Tamtari Wini (Ed) (2001). Konstruksi
Seksualitas Antara Hak
dan Kekuasaan. Yogyakarta: UGM.
Dep. Kes. RI. (2003). Profil Kesehatan Reproduksi
Indonesia 2003. Jakarta: Dep.
Kes. RI
Hasbianto, Elli N. (1996). Kekerasan Dalam Rumah Tangga.
Potret Muram Kehidupan
Perempuan Dalam Perkawinan, Makalah Disajikan pada Seminar
Nasional
Perlindungan Perempuan dari pelecehan dan Kekerasan seksual. UGM
Yogyakarta, 6
November.
Komnas Perempuan (2002). Peta Kekerasan Pengalaman
Perempuan Indonesia.
Jakarta: Ameepro.
Monemi Kajsa Asling et.al. (2003). Violence Againts
Women Increases The Risk Of
Infant and Child Mortality: a case-referent Study in Niceragua. The
International Journal
of Public Health, 81, (1), 10-18.
Rahman, Anita. (2006). Pemberdayaan PerempuanDikaitkan
Dengan 12 Area of
Concerns (Issue Beijing, 1995). Tidak diterbitkan, Universitas Indonesia,
Jakarta, Indonesia.
Sciortino, Rosalia dan Ine Smyth. (1997). Harmoni:
Pengingkaran Kekerasan
Domestik di Jawa. Jurnal Perempuan, Edisi: 3, Mei-Juni.
WHO. (2006). Menggunakan Hak Asasi Manusia Untuk
Kesehatan Maternal dan
Neunatal: Alat untuk Memantapkan Hukum, Kebijakan, dan Standar
Pelayanan. Jakarta:
Dep. Kes. RI.
KATA PENGANTAR
Assalam’mualaikum Wr.Wb.
Segala puji bagi Allah SWT yang
telah menolong hamba-Nya menyelesaikan makalah ini dengan penuh kemudahan.
Tanpa pertolongan Nya mungkin penyusun tidak akan sanggup menyelesaikan dengan
baik. Makalah ini di susun agar pembaca dapat mengetahui “ KEKERASAN DALAM
RUMAH TANGGA “. Penyusun juga mengucapkan terima kasih kepada Dosen Pembimbing yang telah banyak membantu dalam penyusun serta memberi
motivasi yang luar biasa agar dapat menyelesaikan makalah ini dengan baik.
Semoga makalah ini dapat memberikan
wawasan yang lebih luas kepada pembaca.Penulis menyadari bahwa dalam penulisan
makalah ini masih banyak kekurangan, oleh sebab itu penulis sangat mengharapkan
kritik dan saran yang membangun. Semoga dengan selesainya makalah ini dapat
bermanfaat bagi pembaca. Amin.
Wassalam mu’alaikum Wr.Wb.
Mata Kuliah : PKN (Pendidikan Kewarga Negaraan)
EmoticonEmoticon